Dunia Politik Digital Pemilih Pemula Gagasan Fayakhun Andriadi Bagian II
Setelah pemilihan umum tahun 1971, tingkat partisipasi politik
rakyat Indonesia mengalami penurunan secara teratur. Pada Pemilu 1971, tingkat
partisipasi politik pemilih mencapai 96,6 persen, dengan jumlah Golongan Putih
(golput) hanya 3,4 persen. Pada dua Pemilu setelahnya, tahun 1977 dan 1982,
tingkat partisipasi politik menurun namun hanya tipis saja. Pada Pemilu 1992,
tingkat partisipasi politik 95,1 persen dan Pemilu 1997 mencapai 93,6 persen.
Di tahun-tahun ini, angka Golput mulai merangkak ke 6,4 persen.
Jika merujuk pada dua bentuk partisipasi politik, yaitu otonom
partisipasi(autonoms participation) dan partisipasi yang dimobilisasi
(mobilized participation), dapat disimpulkan bahwa tingginya partisipasi pada
era Orde baru ini lebih karena faktor mobilisasi atau tekanan dari penguasa.
Artinya, fakta ini tidak bisa sepenuhnya menjadi indikator.
Memasuki Pemilu era reformasi, Pemilu 1999, tingkat partisipasi
memilih menyentuh 92,6 persen. Tapi angka Golput menjadi semakin tinggi pada
Pemilu Legilatif 2004, yaitu 15,9 persen. Dengan kata lain, tingkat partisipasi
politik pemilih menurun drastis menjadi 84,1 persen. Pada Pilpres 2004, tingkat
partisipasi politik semakin menurun menjadi 78,2 persen dan jumlah Golput 21,8
persen.
Pada Pemilu Legislatif tahun 2009 tingkat partisipasi politik
pemilih terus mengalami penurunan hanya 70,9 persen. Pada Pilpres 2009, tingkat
partisipasi politik pemilih menurun menjadi 71,7 persen dan jumlah golput
mencapai 28,3 persen.
Grafik yang terus menurun ini sangat mengkhawatirkan. Karena
tingkat partisipasi politik memilih merupakan indikator perkembangan dan
kematangan demokrasi sebuah negara. Penurunan angka partisipasi politik bisa
diinterpretasikan sebagai adanya sesuatu yang salah dalam praktek demokrasi di
sebuah negara. Karena peningkatan angka Golput dianggap sebagai indikasi
apatisme politik warga negara terhadap politik di negaranya. Meski beberapa
ilmuwan politik tidak setuju dengan logika pengambilan kesimpulan yang seperti
ini. Namun, secara umum partisipasi politik dianggap sebagai variabel penting
demokratisai sebuah negara.
Untungnya, pada Pemilu Legislatif 2014 yang baru berlalu, tingkat
partisipasi politik pemilih mengalami peningkatan signifikan sebanyak 5 digit
persen, dari 70 persen menjadi 75 persen. Fenomena Golput yang sebelumnya
dikhawatirkan meningkat tajam, ternyata tidak terjadi.
Apakah peningkatan partisipasi politik pemilih ini dipacu oleh
kehadiran teknologi digital (sosial media) di dunia politik? Sekali lagi, belum
ada riset dan data valid tentang korelasi keduanya. Namun setidaknya satu fakta
yang penting bahwa jumlah pemilih pemula pada Pileg 2014 mencapai 50 juta
pemilih. Artinya, bukan sesuatu yang terlalu jauh untuk dikorelasikan, jika
sosial media mungkin saja menjadi faktor yang memantik ketertarikan pemilih
pemula untuk berpartisipasi secara politik. Karena politik sudah mulai dekat
dengan dunia mereka: dunia digital.
Apalagi, dalam teori politik, rendahnya partisipasi politik dapat
teratasi oleh faktor modernisasi dan meningkatnya komunikasi massa
(Sastroadmodjo:1995). Artinya, teknologi digital sebagai produk modernisasi dan
alat komunikasi yang “berbasis” massa besar, sangat mungkin sekali turut
memberikan andil pada peningkatan angka partisipasi politik pemilih sebesar 5
persen tersebut. Dan pemilih pemula mungkin saja dominan mengisi populasi lima
digit tersebut.
Memang perlu riset lebih mendalam untuk melihat korelasi
meningkatnya partisipasi politik dengan efektifitas penggunaan teknologi
digital sebagai perangkat komunikasi politik. Tidak boleh sekedar asumsi atau
dugaan semata. Namun jika kita merujuk pada semakin massifnya penggunaan
teknologi digital di berbagai aspek kehidupan, termasuk politik, maka sudah
saatnya bagi seluruh elemen politik di negara kita untuk menoleh pada teknologi
ini. Salah satu tujuan pentingnya adalah agar generasi muda Indonesia (pemilih
pemula) yang akan mengisi masa depan negara ini tidak menjadi semakin apatis
dan menjauhi politik. Dan salah satu cara efektif untuk mengantisipasi hal ini
adalah dengan “memasukkan” politik ke dunia mereka, yaitu dunia digital.
Politik tidak boleh lagi terus menerus asyik masyuk di dunianya yang
konvensional dan tradisional, sementara dunia sudah mengalami modernisasi dan
teknokrasi.
Bagaimanapun, generasi muda itulah yang akan menerima estafet
kepemimpinan bangsa ini ke depan.Menjadi tugas politik/politisi untuk menjemput
mereka ke dunianya: digital.
Komentar
Posting Komentar